Lima Rekomendasi untuk Menguatkan Agensi Perempuan dalam Lingkaran Eksteremisme Kekerasan
Cari Berita

Pasang iklan

 

Lima Rekomendasi untuk Menguatkan Agensi Perempuan dalam Lingkaran Eksteremisme Kekerasan

Kamis, 04 Agustus 2022

GERBANGNTB COM
BIMA, — Selama ini Bima kerap disandingkan bersama Poso dan Solo sebagai segitiga kekerasan di tanah air, khususnya berkaitan isu kekerasan, ekstremisme, dan terorisme. Lalu bagaimana solusi atas label merah yang sudah lama mengusik publik di Dana Mbojo tersebut?

Hal tersebut dibahas khusus dalam workshop agensi perempuan dalam pencegahan ekstremisme yang digelar Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gajah Mada bersama Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Taman Siswa (STKIP Tamsis) Bima di Ruang Beradab kampus setempat, Rabu (3/8/2022).

Dalam pengantarnya, Ketua STKIP Taman Siswa Bima, Dr Ibnu Khaldun M.Si mengatakan, selama ini Bima kental dengan stigma keras, masih dalam tataran yang positif seperti keteguhan untuk menempuh pendidikan tinggi dan memiliki cita-cita luhur dapat melaksanakan ibadah haji.  Namun pada aspek lain, masalah kekerasan yang berkaitan ideologi sebagaimana hasil penelitian dan publikasi oleh PSKP UGM perlu menemukan solusi, sehingga bisa menjadi satu model atau rumusan.

“Kami ditawarkan kerja sama untuk dua kegiatan. Saya kira ini kegiatan yang sangat penting sekali bagi kita para masyarakat sipil yang mungkin bisa ikut memikirkan, untuk bisa menjadi artikulasi, bahkan bisa menjadi kebijakan dari hasil publikasi ini,” ujar Dr Ibnu Khaldun.

Alumnus Universitas Gajah Mada ini juga berharap, kehadiran dan sumbangsih pikiran peserta dari berbagai latar seperti sejumlah doktor muda yang hadir mengikuti workshop menjadi agensi untuk penguatan masyarakat sipil untuk mencegah ekstremisme kekerasan.

“Mudah-mudahan bisa menjadi penguat untuk kita bahwa satu model yang menjadi hasil riset ini menjadi energi bersama, agenda bersama,” ujarnya.

“Bahkan kalau bisa kepala daerah, bupati, wali kota, eksekutif-legislatif ini bisa menjadi landasan apakah sampai pada bupati atau Pemda misalnya. Nah syukur di sini ada Mas Saiful selaku anggota DPRD (Kabupaten Bima), mudah-mudahan bisa menyuarakan ini,” harap Doktor Ibnu Khaldun.

Kepala PSKP UGM, Muhammad Najib Azca, mengatakan,  desiminasi hasil penelitian tentang isu kekerasan ideologi (violent extremism/VE) dan  soft preventif melawan kekerasan brutal (Counter Violent Extremism/ CVE) yang kemudian dirangkum dalam buku bertajuk Agensi Perempuan dalam Lingkaran Ekstremisme Kekerasan, Narasi dari Poso, Bima, Lamongan dan Deli Serdang, diawali riset panjang pihaknya di Poso Sulawesi Tengah, tahun 2003-2004.

“Bolak balik Poso sudah menjadi seperti kampung kami sendiri. Pernah terjadi konflik komunal antar agama di Poso dan Ambon, sehingga sampai hari ini kita masih ada kelompok ektrimisme kekerasan,  Mujahiddin Indonesia Timur (MIT). Salah satu tokoh penting gerakan, terorisme, dari komunitas yang berakar dari Darul Islam, termasuk dari Jawa. Salah satu tokohnya alumni dari Filiphina,” ujar Dr Muhammad Najib Azca.

Dipaparkannya, di Solo, Jawa Tengah muncul berbagai gerakan dan jejaring terorisme dan jihadisme. Beberapa di antaranya melalui Jemaah Islamiyah, kemudian pecah dan melahirkan kelompok baru seperti MIT yang bergerak di Gunung Biro Poso dan saat ini masih tersisa dua orang yang berasal dari Bima.

“Di sanalah ketemu orang Bima. Dalam fase regenerasi, itu banyak perempuan. Pada awalnya generasi itu laki-laki. Untuk riset lingkaran jihadisme itu tidak mungkin dilakukan oleh laki laki. Dalam riset kami banyak perempuan yang terlibat. Ada juga di antaranya tim kami Mbak Rani,” katanya.

Menurut alumnus Australian National University yang juga Wakil Sekjend PBNU ini, titik awal berbagai gerakan ekstremisme kekerasan itu bukan berawal dari Bima. Namun bermula dari konflik komunal agama di Poso dan Ambon Maluku. Setelah itu kemudian merembet ke Bima, di mana beberapa jihadis dari Bima ikut bergabung.

“Ada peranan perempuan dalam gerakan ekstremisme seperti kasus bom di Surabaya. Kalau secara temporer dimulai dari Afganistan, peristiwa bom jihad saat berhadapan dengan Rusia. Kemudian muncul di negara-negara lain. Awalnya panjang. Transformasi global dari Al Kaedah ke ISIS,” ujarnya.

Azca juga memaparkan keterlibatan perempuan dalam jaringan ISIS. Hampir semua gerakan yang melibatkan perempuan dan MIT baitnya ke ISIS. Beberapa peristiwa besar di antaranya amalia di Makassar dan di Mabes Polri.

“Dua daerah lain juga Lamongan dan Dili Serdang. Lamongan terkenal kaitannya dengan bom Bali. Awalnnya basis gerakan ekstremisme, kemudian berubah jadi daerah kontra ekstremisme. Demikian juga dengan Dili Serdang,” ujarnya.

Tim Peneliti PSKP UGM, Rani Dwi Putri memaparkan, sebagian ibu atau istri penyintas dan Napiter sebenarnya berbeda pandangan dengan suami mereka. Beberapa di antaranya mendorong Napiter untuk memilih pembebasan bersyarat (PB) atau mengakui ideologi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun secara umum posisi para ummahat tersebut sebagai pencegah pasif (passive preventing) paham dan gerakan ekstremisme kekerasan.

“Kenapa kami kategorikan pasif, masih ada kultur yang tidak bisa mereka lakukan untuk berperan aktif di masyarakat. Kami tidak menemukan ummahat yang berperan aktif. Perempuan yang bisa aktif untuk merangkul istri-istri (Napiter) yang lain. Belum kami temukan di Bima. Beberapa istri bisa mempengaruhi suaminya, tetapi mereka harus mengikuti apapun yang dikatakan suaminya, sehingga mereka tidak berdaya mempengaruhi suaminya,” ujarnya.

Rani juga memaparkan, beberapa faktor yang mengakibatkan perempuan terlibat ekstremisme, karena dendam dan masalah perspektif berkaitan ketidakadilan. Adapun di Poso Sulteng rasa dendam keluarga Napiter tinggi, namun di Bima perempuan masuk dalam kategori ekstremisme karena merasa perlakuan pemerintah tidak adil. Selain itu, karena masalah penanganan oleh aparat. Misalnya suaminya disiksa oleh aparat atau ditembak saat hendak disergap. Walaupun saat ini penanganannya semakin lebih baik.

“Faktor penarik jadi tiga. Ada beberapa wanita yang bersama suami ingin hijrah atau lebih ingin religius, tapi pada akhirnya mereka bertemu dengan majelis majelis yang memiliki ideologi ekstremisme, sehingga menarik mereka ke kelompok ekstremisme,” kata Rani.

PSKP UGM meromendasikan agar stake holder berkaitan maupun pemerintah memperbanyak majelis dan forum-forum keagamaan yang damai, agar pasangan yang ingin religius dan ingin dekat dengan penciptanya, tidak bertemu dengan majelis yang terafiliasi ekstremisme.

Rani juga menyebut, faktor lain dipengaruhi pernikahan antara ummahat dengan pria yang masuk dalam jaringan ekstremisme kekerasan. Selain itu, beberapa anggota keluarganya sudah terlibat masuk dalam ideologi ekstremisme, sehingga ikut memengaruhi anggota keluarganya yang lain.
 
“Kita sangat terbuka untuk bapak-ibu menambahkan masukan. Kepada pemerintah untuk memperlakukan jihadis dan pelaku ekstremisme, untuk melakukan perlakuan yang adil. Lebih banyak menggandeng tokoh masyarakat dan akademisi untuk mencegah paham ekstremisme. Tidak hanya pemerintah, tapi melibatkan organisasi masyarakat seperti kelompok perempuan,” ujarnya.

Menurut Rani, peran aparat TNI-Polri yang melakukan pendampingan terhadap keluarga Napiter dan penyintas perlu diperkuat. Misalnya sebagaimana yang dilakukan Bintara Pembina Desa (Babinsa) Kelurahan Penatoi Kecamatan Mpunda Kota Bima dan Babinsa Campa Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima. Satuan atas juga perlu menyiapkan personil perempuan yang dapat melakukan komunikasi dari hati ke hati dengan para ummahat.  Pemerintah juga perlu terus melakukan pendampingan melalui penguatan kegiatan ekonomi bagi kelompok tersebut agar semakin mudah untuk berubah lebih baik.

“Deli Serdang ada perempuan berperan aktif di masyarakat menjadi agen damai. Beliau mantan Jemaah Islamiyah,” ujarnya.
 
Menanggapi penyampaian tim PSKP UGM, salah satu tokoh Kelurahan Penatoi Kota Bima, Darussalam mengatakan, bahwa label Penatoi sebagai kampung teroris berlebihan dan membuat warga setempat tidak nyaman. 

“Kalau menurut saya kelompok ini bukan teroris, tapi Khawarij saja. Karena jangankan untuk beli senjata, untuk beli makan anak istrinya mereka saja masih kurang mampu.  Ajaran mereka adalah Khawarij iya, kelompok Takfiri saja,” ujarnya.

Dikatakannya, untuk menyelesaikan masalah Penatoi perlu kesungguhan bersama, terutama pemerintah untuk melakukan berbagai pendekatan. Misalnya seperti yang pernah digagas pihaknya melalui pola pemberdayaan atau kegiatan ekonomi produktif.

Menurutnya, stigmatisasi Penatoi sebagai zona merah terorisme dan radikalisme membuat generasi di kelurahan setempat tidak memiliki kesempatan yang baik dibandingkan wilayah lain. Misalnya hilang kesempatan untuk menjadi anggota TNI-Polri maupun instansi lain.

Akademisi STKIP Tamsis Bima, Syarifuddin mengatakan, salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah dalam menangani kelompok ektremisme kekerasan dengan melokalisasi kelompok tersebut dan membaginya dalam beberapa bagian atau mencampur dengan kelompok masyarakat lain (asimilasi).

“Mungkin gerakan mereka kecil saja. Kalau masih dianggap ekstrimisme, bisa melokalisir dengan membaurkan dengan masyarakat lain. Apakah aparat dan pemerintah tidak bisa melakukan relokasi mereka kelompok itu, kalau ditanggap masih esktriemisme agar tidak semakin meluas,” ujar pria yang juga pengajar di Ponpes Asy Shiddiqiyah BTN Penatoi Kecamatan Mpunda Kota Bima.

Pada kesempatan yang sama, Akademisi Institut Agama Islam Muhammadiyah bima, Dr Ikhlas, mengatakan, perlu diperjelas untuk kategori pencegah pasif (passive preventing) dan active preventing ummahat karena faktor kekerasan verbal dari suami setelah menikah atau dipengaruhi genealogi.
 
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Bima, Dr Muhammad Hasyim M.Ec Dev menjelaskan, beberapa pentolan gerakan ekstremisme kekerasan di Kelurahan Penatoi sudah banyak berubah atau memilih PB (NKRI). Namun sebagian dari mereka memiliki sejumlah masalah termasuk perudungan dan tidak diterima dalam keluarganya karena dianggap sebagai penghianat, sedangkan dalam pandangan masyarakat, juga dianggap sebagai sampah masyarakat.

Menurut mantan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol Sekretariat Daerah Kota Bima ini, beberapa perempuan Bima dipilih masuk dalam lingkaran kelompok etremisme kekerasan, karena wanita Bima dianggap tangguh dan patuh terhadap suaminya, sehingga dapat diandalkan.

“Saya tanyakan kenapa memilih orang Bima? Ternyata orang Bima itu memiliki visi kepemimpinan yang kuat. Orang Bima punya suara yang keras. Mengambil orang Bima sebagai istri pemimpim kelompok itu, karena wanita Bima adalah wanita tangguh. Apa yang dikatakan suami mereka taat dan diajak suami ke neraka pun mereka ikut,” ujarnya.

Dikatakannya, perkembangan pengguna dan interaksi media sosial seperti facebook juga memengaruhi warga terpapar paham tersebut. Bahkan, umumnya warga Bima memiliki telepon genggam (smart phone) lebih dari satu.  “Kepemilikan handphone di Bima ini melebihi jumlah penduduk. Bahkan memiliki dua handphone untuk satu orang,” ujarnya.
Hasyim juga menjelaskan, penanganan terduga teroris oleh aparat keamanan juga semakin lebih baik. Sebelumnya pihaknya juga pernah bertemu dengan Komandan Tim Densus 88/ AT. Salah satu polanya dengan melakukan pendekatan dengan keluarga terduga. 

Pada kesempatan yang sama, Akademisi IAIM Bima, Lutfiah, mengatakan, hasil penelitian PSKP UGM sejalan dengan kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang didampingi pihaknya. 

Menurutnya, sebagaian lembaga pendidikan di Bima memiliki pelajaran di luar kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah. Kurikulum (hidden curriculum) tersebut membuat anak terpapar paham dan pikiran ekstrem berbau kekerasan. 

“Faktor penarik salah satunya pendidikan. Itu menjadi spesialnya di Bima salah satunya pendidikan,” ujar Lutfiah.

Diakuinya, selama berada di Bima, pihaknya belum menemukan aksi kekerasan secara fisik dari kelompok ekstremisme kekerasan. Namun pemikiran atau ideologi tersebut dapat ditemukan, salah satunya di lembaga pendidikan yang melaksanakan kurikulum tersembunyi.

Akademisi STKIP Tamsis Bima lainnya, Taufik SH MH tidak setuju dengan berbagai pemaparan tim PSKP UGM. Menurut dia, Bima bukan kantong radikalisme dan terorisme. Adapun berkaitan peristiwa Cikini penyerangan Presiden Republik Indonesia saat era Soekarno yang melibatkan orang Bima harus dilihat akar permasalahannya. Termasuk berkaitan sikap presiden pertama Indonesia tersebut.

“Kalau negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, pasti tidak ada tindakan itu. Tidak ada satupun agama di  negara manapun yang mengajarkan kekerasan. Saya sepakat dengan Bang Darusman ini proyek. Sedikit-sedikit Islam,” katanya.

Menurut Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kabupaten Bima ini, yang ada di Bima hanyalah pemikiran khawarij. Bukan sebagai kantong terorisme dan radikalisme. Bahkan label tersebut menakut-nakuti masyarakat secara psikologis. 

Taufik juga menyorot beda penanganan gerakan separatis Papua dengan kelompok kekerasan yang melibatkan umat Islam. Hal itu dilihat dari label gerakan separatis Papua yang awalnya tidak dikategorikan kelompok teroris.

“Apakah pikiran radikalisme mereka laksanakan dalam tindakan? Seperti kata Rocky Gerung, kebohongan terbesar itu dari Negara. Saya waktu kuliah di Makassar adalah guru ngaji dari masjid ke masjid. Saya juga adalah anak seorang ustadz. Kalau orang Bima itu disentuh masalah agamanya, ya hati hati saja. Geneologinya menurut saya tidak pas. Orang Bima itu ramah-ramah,” katanya. 

Pada akhir kegiatan, Ketua Tim Riset PSKP UGM, Dr Muhammad Najib Azca menyampaikan lima rekomendasi kepada pemerintah untuk menguatkan agensi perempuan dalam lingkaran ekstremisme kekerasan dan memecahkan masalah kelompok ekstremisme, yang dirangkum dari masukan dan tanggapan peserta workshop.

Sejumlah rekomendasi tersebut, agar pemerintah memberikan hak hak dan perlakuan yang adil bagi para jihadis yang sedang menjalani hukuman, terutama menghindari cara-cara kekerasan saat melakukan penangkapan dan proses penyelidikan yang dapat membangkitkan rasa dendam yang dapat mendorong push faktor perempuan memiliki atau bahkan menguatkan ideologi ekstremismenya.

Perlu lebih banyak dan lebilh aktif menggandeng tokoh agama, masyarakat sipil, maupun akademisi dalam menggerakan upaya- upaya pencegahan dan penanganan paham dan gerakan ekstremisme kekerasan yang notabene memiliki kecenderungan sikap anti pemerintah.

Perlu memberikan pendampingan baik ekonomi maupun sosial secara sistematis, berkelanjutan dan tepat sasaran pada kelompok perempuan terutama di komunitas Penatoi yang berada pada posisi pencegah pasif (passive preventing) yang telah memiliki potensi maupun keterampilan (skill).

Perlu memberikan pengawasan dan ketegasan penegakan hukum terhadap lembaga pendidikan yang tidak mengantungi izin dari pemerintah, di samping menyiapkan alternatif pilihan lembaga pendidikan di luar kelompok dan jejaring ekstremisme kekerasan yang terjangkau dan berkualitas. 

Bagi aparat keamanan baik dari Polri maupun TNI diperlukan penguatan peran pendampingan untuk keluarga keluarga eks Napiter oleh Babinsa dan Bhabinkamtibmas. Peran tersebut tidak hanya melibatkan personil laki laki, melainkan personel perempuan. [*]